“Setiap warga Negara Indonesia
berhak menerima pendidikan”. Begitulah kurang lebih bunyi salah satu pasal UUD
’45 tentang pendidikan. Tak dapat disangkal, pendidikan memang sangatlah
penting bagi setiap orang. Bahkan karena hampir semua orang sadar bahwa
pendidikan penting sampai-sampai pemerintah membuat peraturan wajib belajar
sembilan tahun untuk setiap anak-anak Indonesia. Alhasil, setiap anak-anak
Indonesia bisa bersekolah dengan gratis setidaknya sampai jenjang SMP.
Bicara soal pendidikan tentu
sangat erat kaitannya dengan sekolah dan berbagai mata pelajaran yang kita
dapatkan di sekolah. Masih ingatkah Anda dengan berbagai mata pelajaran itu ?
Ya, benar sekali. Matematika, IPA, IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Olah
Raga, Seni, Agama dan lain-lain. Dan tentu Anda masih ingat juga bukan? Bahwa
diantara semua mata pelajaran itu pastilah Matematika, Bahasa Indoenesia, IPA,
dan IPS yang menempati urutan paling sering kita jumpai disetiap minggunya.
Paling banyak jumlah pertemuannya. Sudah dapat dipastikan saya, Anda ataupun
setiap anak-anak yang pernah merasakan pendidikan di bangku sekolah formal
pastilah merasakan hal yang sama. Terlepas suka ataupun tidak. Kalaupun suka,
biasanya anak-anak akan memahami ilmu dan materi yang diberikan oleh guru
ketika akan ujian. Dan selepas ujian, hilanglah seketika ilmu-ilmu itu. Entah
lenyap kemana. Ya, mungkin karena murid hanya merasa membutuhkan ilmu dan
materi-materi tersebut sebatas untuk “makhluk” yang bernama ujian.
Mungkin tergolong baik bagi murid
yang dapat menyesuaikan dengan sistem demikian. Untuk murid yang notabene
merasa tidak suka dengan mata pelajaran “otak kiri”, hal ini mungkin akan
menjadi “siksaan” bagi mereka. Sebut saja namanya Kiki. Dari semua mata
pelajaran yang ada disekolahnya, dia selalu menantikan pelajaran seni, Meski
hanya seminggu sekali, tetap saja dia senang bukan main jika sudah disuruh
menggambar oleh gurunya. Jika ditanya cita-cita pun dia akan menjawab kalau dia
ingin menjadi pelukis. Masa pembagian kelas pun datang, setiap murid dites
kemampuannya untuk menentukan kategori kelas yang sesuai dengan mereka. IPA,
IPS, atau Bahasa. Begitu pula dengan Kiki. Kiki tampak serius dengan kertas
ujiannya. Ujian usai, saatnya Pak Guru mengumumkan kategori kelas bagi
masing-masing siswa. Satu persatu teman Kiki dipanggil dan menempati kategori
kelas sesuai dengan hasil ujiannya. Sampai tibalah raut wajah Pak Guru berubah
seperti orang kebingungan. “Kiki!”, panggil Pak Guru. “Iya, Pak. Ada apa?”,
raut wajah Kiki tetap seperti biasanya. Tenang dan datar. “Kenapa kamu tidak
jawab satu soal pun di ujian ini?”. “Saya jawab kok, Pak. Itu dibelakangnya”,
sambil menunjuk kertas ujian. “Jawaban apa ini, Ki?”, Pak Guru mulai kelihatan
kesal. “Itu gambar saya, Pak. Tadi sebelum ujian bukankah Bapak bilang,
“Kerjakan sesuai dengan kemampuan dan minat kalian”. Saya merasa gak mampu,
untuk masuk kelas IPA, IPS, ataupun Bahasa. Saya merasa mampu dan minat masuk
kelas seni. Makanya saya buat soalnya sendiri dibelakang kertas itu. Kira-kira
begitu, Pak”, dengan tenangnya Kiki menjawab demikian.
Itu baru Kiki, masih banyak
Kiki-Kiki lainnya di negri Indonesia ini. Yang dipaksa untuk menuruti sistem
yang ada. Seolah-olah masa depan hanya milik penggemar mata pelajaran “otak
kiri”. Itulah sekelumit kisah pendidikan di negri ini. Murid pintar di sekolah
adalah murid yang bisa menyesuaikan dirinya dengan sistem sekolah. Murid yang
dianggap bodoh disekolah adalah murid yang tidak dapat dengan baik menyesuaikan
dirinya dengan sistem sekolah. Pada dasarnya tidak ada manusia bodoh,
masing-masing punya keunggulan di bidangnya masing-masing. Hanya saja,
terkadang sistem yang “memaksa” sehingga ada si Pintar dan si Bodoh. Kasihan
sekali si Bodoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar